Pandemi penyakit virus corona baru (COVID-19) lebih dari sekadar krisis medis.
Implikasi sosial ekonomi dari pandemi COVID-19 sangat luas, karena beberapa negara, termasuk Indonesia, telah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar untuk memerangi penyebaran COVID-19.
Penerapan PSBB memaksa pabrik, restoran, hotel, pusat hiburan, sekolah, dan universitas tutup.
Warga telah diinstruksikan untuk tinggal di rumah dan tidak melakukan pertemuan keagamaan dan sosial.
Akibatnya, wabah virus corona telah memicu PHK massal yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sekitar 1,7 juta pekerja diberhentikan dan terpaksa mengambil cuti yang tidak dibayar karena pandemi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pekerja yang diberhentikan secara bertahap akan dimasukkan dalam program kartu prakerja dalam empat hingga lima minggu ke depan.
Sekitar sembilan juta orang telah mendaftar untuk program kartu prakerja. Sementara itu, 456 ribu pengguna yang sebagian besar berasal dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan telah merasakan manfaatnya pada tahap pertama dan kedua, kata Menkeu.
“Antusiasme ini dapat kita saksikan sebagai cerminan tingginya ekspektasi masyarakat terhadap Program Kartu Prakerja,” ungkapnya.
Hartarto memaparkan, Program Kartu Prakerja difokuskan pada pekerja, pencari kerja, dan wiraswasta yang bergerak di usaha kecil dan mikro yang terdampak pandemi COVID-19.
Program ini memprioritaskan pekerja yang diberhentikan dan mereka yang bergerak dalam usaha mikro dan kecil yang mengalami kehilangan pekerjaan.
Pemerintah juga telah mengumpulkan data melalui layanan ketenagakerjaan, pariwisata, koperasi, dan UKM, industri, dan perdagangan, serta di sektor-sektor yang terkena dampak pengurangan mobilitas masyarakat, seperti transportasi dan ritel.
Sebanyak 18 persen penerima program kartu pra kerja memilih untuk menerima insentif melalui bank, sedangkan sisanya 72 persen menggunakan e-wallet atau uang elektronik.
Bagi yang berhasil mendapatkan Kartu Prakerja akan mendapatkan total insentif sebesar Rp3,55 juta.
Rinciannya, pertama, biaya pelatihan sebesar Rp1 juta yang dapat digunakan untuk membeli satu atau lebih pelatihan mitra platform digital.
Kedua, insentif pasca pelatihan pertama sebesar Rp2,4 juta terdiri dari Rp600 ribu per bulan, dan ketiga, insentif pasca-pengisian berupa survei evaluasi sebesar Rp50 ribu per survei, dengan Rp150 ribu untuk tiga survei.
Dana insentif akan ditransfer melalui rekening bank atau e-wallet peserta (LinkAja, Ovo atau GoPay).
Delapan platform digital yang dicanangkan pemerintah untuk memberikan pelatihan adalah Tokopedia, Ruangguru melalui Skill Academy, MauBelajarApa, Bukalapak, Pintaria, Sekolahmu, Kementerian Tenaga Kerja, dan Pijarmahir, untuk selengkapnya di Bacadenk.
Pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp596,8 miliar untuk 168.111 peserta yang diterima pada tahap I. Secara total, pemerintah menyediakan Rp20 triliun untuk 5,6 juta peserta program kartu pra kerja tahun ini. Tahap ke-30 direncanakan hingga November 2020.
Selain itu, Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) telah meminta penerima kartu pra kerja untuk memberikan insentif kartu untuk tabungan dan modal usaha.
“Kami optimis dana yang diberikan pemerintah tidak akan habis untuk konsumsi, melainkan digunakan sebagai modal untuk mengembangkan usaha,” kata Asisten Deputi Bidang Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Gede Edy Prasetya dalam sambutannya. diskusi online terkait program kartu pra kerja di Jakarta, Selasa.
Insentif bulanan sebesar Rp600 ribu tersedia bagi penerima manfaat melalui kartu prakerja untuk jangka waktu empat bulan.
Meski jumlahnya tidak besar, Prasetya meyakini beberapa bisnis bisa dimulai dengan modal kecil.
Prasetya mencatat, pemerintah siap membantu permodalan, termasuk akses ke lembaga keuangan formal, untuk meningkatkan skala usaha.
“Kita bisa mendorong mereka untuk mengakses kredit mikro dan kemudian naik ke kecil dan komersial,” katanya.
Selain modal ventura, ia mengatakan insentif yang diterima juga dapat disalurkan untuk memenuhi kebutuhan lain, misalnya tabungan yang dinilai menguntungkan, terutama saat menghadapi pandemi COVID-19.
“Kalau masyarakat bisa mengakses lembaga keuangan formal, mereka bisa berhemat. Menabung punya beberapa kegunaan, terutama di masa pandemi ini. Menabung itu yang utama,” tegasnya.
Tidak dirancang untuk pandemi
Anggota Komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mengingatkan, kartu prakerja tidak dirancang untuk pandemi COVID-19, sehingga anggaran yang dialokasikan dari program harus dialihkan ke pos lain yang lebih sesuai untuk menggunakan.
“Kartu pra kerja ini dirancang dengan mempertimbangkan situasi normal dengan konsep memberikan pelatihan bagi orang yang akan dipekerjakan. Namun, informasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) tidak ada lowongan pekerjaan baru,” kata Mucharam.
Anggota DPR menilai tidak relevan jika anggaran tetap dialokasikan untuk program kartu prakerja berdasarkan asumsi kondisi normal. Ia menyarankan agar bantuan itu dialihkan ke bantuan langsung, seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan sembako yang bisa langsung bermanfaat bagi masyarakat yang sangat membutuhkan.
Oleh karena itu, dia mendesak menteri keuangan untuk mengambil kebijakan fiskal yang lebih tegas dan berani, terutama dalam kebijakan pemotongan anggaran negara yang masih dipandang tidak fokus pada penanganan COVID-19 dan dampaknya.
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mendesak pemerintah tidak memaksakan penerapan skema kartu prakerja di masa pandemi COVID-19.
“Pemerintah tidak perlu memaksakan penerapan skema kartu pra kerja di tengah pandemi. Program ini disiapkan untuk situasi normal dan bukan di tengah pandemi,” kata Hertanti.
Hertanti berpendapat, penerapan skema tersebut tidak perlu dipaksakan sebagian karena beberapa pekerja yang diberhentikan di berbagai daerah tidak dapat mengakses program karena kendala teknis.
Apalagi program pemutusan hubungan kerja dinilai tidak tepat sasaran karena langkah paling tepat yang harus diambil saat ini adalah mengamankan nasib pekerja dan keluarganya pasca krisis.
Lebih lanjut, peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menilai kartu prakerja bukanlah solusi tepat bagi pekerja informal yang terdampak pandemi COVID-19.
Alamsyah menyarankan agar pemerintah menawarkan bantuan langsung kepada pekerja informal daripada memberikan program kartu pra kerja.
Ia juga mengungkapkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia masih rendah. Sekitar 40 persen penduduk Indonesia tingkat sekolah dasar belum mengakses internet.
Selain itu, masih ada kekhawatiran bahwa program kartu pra kerja tidak menjamin pekerjaan bagi para peserta meskipun telah mengikuti program tersebut.
“Setelah menyelesaikan proyek ini, ke mana orang itu akan dikirim? Ke mana akan didistribusikan dalam kondisi pandemi ini?” ungkap Alamsyah.
Kartu Prakerja merupakan program yang baik dari pemerintah untuk mempersiapkan calon tenaga kerja agar siap diserap oleh perusahaan.
Namun, pandemi COVID-19 telah menyebabkan skenario yang belum pernah terjadi sebelumnya, menyeret dunia bisnis ke dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Situasi ketidakpastian ini menyulitkan perusahaan untuk melakukan proses rekrutmen jangka pendek.
Hal ini dapat membaik hanya jika pemerintah dapat memastikan kapan pandemi akan berakhir.
Sementara itu, perusahaan rekrutmen sedang memikirkan cara untuk bertahan hidup selama pandemi COVID-19.